CN, JAKARTA - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia melakukan pertemuan dengan Baleg DPR RI dan diterima oleh Willy Aditya, selaku Wakil Ketua Baleg DPR RI.
Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo dalam pertemuan ini mengemukakan, bahwa kehadiran APHA Indonesia menemui Pimpinan Baleg tersebut bertujuan memberikan saran dan masukkan mengenai beberapa substansi RUU Masyarakat Hukum Adat sekaligus untuk mendorong percepatan proses penyelesaian RUU Masyarakat Adat yang saat ini sedang berproses lagi di DPR RI.
"Adapun beberapa poin saran atau masukkan APHA Indonesia, yang disampaikan kepada Pimpinan Baleg DPR RI pada prinsipnya berkaitan dengan: (1) judul RUU, (2) definisi masyarakat adat, (3) penambahan asas, (4) tentang pengakuan, (5) hak dan kewajiban, (6) penyelesaian sengketa, dan (7) sanksi. Poin-poin ini dipandang sangat substantif dalam rangka penyempurnaan substansi RUU Masyarakat Hukum Adat," kata Laksanto, Rabu (19/11).
Dr. Laksanto dalam pertemuan memaparkan, bahwa APHA Indonesia berkomitmen untuk terus mengawal proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di Baleg DPR RI, agar substansinya sesuai dengan kebutuhan dan memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak yang mereka miliki.
"Sebab selama ini keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak yang mereka miliki kurang mendapatkan perhatian dari Negara, bahkan rentan diperlakukan sewenang-wenang," ungkap Laksanto.
"Padahal, masyarakat hukum adat itu sudah ada sejak sebelum NKRI berdiri. Oleh sebab itu, eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya itu wajib dilindungi oleh negara, sebab masyarakat adat merupakan bagian yang terpisahkan dari bangsa Indonesia," tambahnya.
Dijelaskannya, pasca amandemen UUD 1945, pengakuan terhadap eksistensi hukum adat dimuat dalam Pasal 18B UUD 1945. Namun dalam realitasnya, amanat Konstitusi dan berbagai norma hukum yang berkaitan dengan pengakuan atas hukum adat itu belum terimplementasi secara maksimal, bahkan terabaikan dalam pembangunan hukum nasional.
Pembangunan hukum nasional yang cenderung berkiblat pada hukum barat yang berorientasi pada kodifikasi dan unifikasi hukum membuat hukum adat makin termarginalkan dan tergerus oleh bangsa-nya sendiri untuk dan atas nama perkembangan masyarakat, budaya, dan hukum.
Faktanya dalam beberapa putusan pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat tidak jarang hakim kurang menggali nilai-nilai hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang berperkara, sehingga putusannya dinilai tidak adil oleh masyarakat hukum adat.
Ini adalah sebuah ironi kebangsaan, sebab hukum adat itu mencerminkan jiwa bangsa dan budaya hukum bangsa Indonesia. Menghilangkan eksistensi hukum adat berarti menghilangkan eksistensi jati diri dan jiwa bangsa.
Agaknya politik hukum dan paradigma pembangunan hukum nasional kita perlu direkonstruksi, agar pembangunan hukum nasional betul-betul mengutamakan penggalian dan pencarian nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Substansi sebuah RUU Masyarakat Hukum Adat wajib bersumber dari nilai-nilai dan hukum yang hidup dalam bangsa sendiri, dan bukan mengimpor nilai-nilai dan norma hukum asing yang berkarakteristik individualistik - kapitalistik. Nampaknya ada kesesatan pikir kita semua akibat terlalu mengagungkan hukum barat yang jelas berkarakteristik individual–kapitalistik yang jelas-jelas tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia.
Mengembalikan ruh pembangunan hukum nasional agar sesuai dengan tatanan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah sebuah keniscayaan.
"Masyarakat Indonesia silahkan saja terus maju dan berubah, tetapi jangan pernah kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang komunal dan religius," tutup Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo. (*)
Bertemu Baleg DPR RI, APHA Berikan Saran Substansi RUU Masyarakat Hukum Adat
Kamis, 19 November 2020 , 20:37:00 WIB
foto: istimewa