CN, Jakarta - Tim Ekonomi dan IT Barisan Prabowo-Sandi (PADI) meminta dengan tegas agar pemerintah membatalkan revisi Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik atau PSTE, karena dianggap sangat merugikan bangsa Indonesia. "Revisi PP Nomor 82 tahun 2012 itu tidak cukup jika hanya mempertimbangkan aspek teknis dan keamanan. Namun, harus diseimbangkan dengan aspek kedaulatan, pertumbuhan industri nasional, perlindungan data dan dampak sosial ekonomi," demikian diungkapkan Ketua Umum Barisan PADI Iskandar di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Menurut Iskandar, Tim Ekonomi dan IT menyoroti soal perubahan ketentuan mengenai penempatan data pada revisi peraturan tersebut. “saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang berhubungan langsung dengan perlindungan data, maka revisi tersebut harusnya bisa dibatalkan sampai hadirnya UU yang lebih tegas tentang perlindungan data.” Tuturnya.
Iskandar menambahkan bahwa, kebijakan dan regulasi terkait penempatan data center memiliki dimensi dan dampak yang besar. “Tidak cukup jika hanya membatasi pada isu lokalisasi data, namun juga terkait dengan kepemilikan data, hak akses data, kendalinya dan manfaat untuk kepentingan nasional.” Tegasnya.
Iskandar juga menjelaskan, bahwa revisi PP 82/2012 ini berpotensi merugikan negara trilyunan rupiah, “dan beresiko terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap berbagai informasi dan kepemilikan data oleh pihak lain yang seharusnya dilindungi oleh negara.” Ujarnya.
Saat ini banyak negara yang menerapkan aturan ketat mengenai lokalisasi data. Untuk kawasan Asia sendiri, Malaysia, Vietnam dan Korea Selatan punya aturan data center yang cukup ketat. Vietnam menwajibkan penyelenggaran internet menempatkan setidaknya server di wilayah Vietnam untuk tujuan penegakan hukum. Belum lagi Uni Eropa dan Jerman bahkan Kanada.
"Revisi mengenai kebijakan lokalisasi data perlu diperhitungkan secara cermat dan teliti mengenai dampak selanjutnya, terutama bagi generasi Milenial yang akan datang", lanjut dia.
Bayangkan seperti kejadian beberapa waktu lalu, andai isu tentang bocornya data pelanggan salah satu perusahaan belanja online, salah satu Unicorn startup Indonesia benar-benar terjadi, bagaimana dengan kerahasiaan semua data pribadi, data transaksi, data bank yang tersimpan didalam database perusahaan tersebut?
"Kami minta, sikap yang diambil pemerintah menjadi lebih jelas dan tegas. Bahkan sebelum membatalkan, ada baiknya mengevaluasi lebih mendalam, menyeluruh dan transparan," tandas dia. Jika tidak dilakukan, Iskandar khawatir akan ada perbedaan pandangan mengenai Data Elektronik Strategis, Data Elektronik Berisiko Tinggi dan Data Elektronik Berisiko Rendah.
Sebagaimana diketahui, Komenkominfo sedang merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
Bunyi pasal terkait data yang akan direvisi adalah sebagai berikut :
Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya - Pasal 17 ayat (2) PP PSTE 82/2012.
Pasal 17 tersebut kan sangat bagus, tegas Iskandar, nah pasal ini yang nantinya akan direvisi pemerintah dengan memperbolehkan data center (pusat data) berada diluar negeri dengan hanya Data Elektronik Strategis saja yang diwajibkan diwilayah Indonesia, dimana tidak dijelaskan lebih jauh apa data Data Elektronik Strategis yang dimaksud, jelasnya.
Anggota legislatif DPR, Yudikatif, harus tahu akan bahaya yang sedang mengancam Kedaulatan Negara ini, tandasnya.
Keputusan pemerintah untuk melakukan revisi ini ditengarai karena adanya tekanan Amerika Serikat terkait kebijakan GSP (Generalized Scheme of Preferences) yang mereka terapkan untuk mengatur export import ke negara tersebut. Indonesia.
Kristiono, Ketua Umum Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) baru-baru ini menegaskan bahwa PP 82/2012 sudah cukup baik dan tidak perlu direvisi. Dengan adanya revisi ini justru negara berpotensik merugi hingga Rp. 85,2 trilyun rupiah akibat menurunnya minat investasi data center didalam negeri. 22/11/2018. (Dikutip dari jakartainsight.com, Selain Mastel, penolakan revisi PP 82/2012 ini juga dilakukan oleh banyak organisasi dan masyarakat. Beberapa diantaranya adalah ACCI (Asosiasi Cloud Computing Indonesia), APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), IDPRO (Asosiasi Data Center Indonesia) dan FTII (Federasi Teknologi Informasi Indonesia).