CN, JAKARTA - Masyarakat adat seperti dapat berlapang dada khususnya terkait sengketa hukum adat. Pasalnya, para pakar hukum pidana yang di dalamnya berisi pengajar hukum adat tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, mendirikan kantor bantuan hukum bagi masyarakat hukum adat.
Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 05/SK/APHA/VIII/2020 tentang Susunan Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Periode {2020—2023} telah ditugaskan Bidang Advokasi yang terdiri atas Yamin, S.S.,S.H.,M.Hum.,M.H. {Ketua}, Rohadi, S.Th.I, S.H.,M.Hum., {Sekretaris}, dan tiga orang anggota, yaitu Safrin, S.H.,M.H., Dr. Marthen B. Salinding, S.H., M.H., dan Nanin Koeswidi Astuti, S.H., M.H. Di samping itu, dalam menjalankan tugas advokasi, Bidang Advokasi dibimbing oleh Dewan Pembina, yaitu: Prof. Dr. Dr. Ch. Dewi Wulansari, Ph.D., S.H.,M.H.,S.E.,M.M. dan Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H.,M.Hum.
Ketua Bidang Advokasi yang terdiri atas Yamin, S.S.,S.H.,M.Hum.,M.H. memaparkan, dalam Rapat Koordinasi Pengurus APHA telah diusulkan Program Kerja Bidang Advokasi, inventarisasi dan Deskripsi Kasus Yang Melibatkan Masyarakat Adat.
"Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat, baik litigasi maupun nonlitigas. Penyuluhan Hukum bagi Masyarkat Adat," jelas Yamin saat berbincang dengan wartawan, Sabtu (19/9/2020).
Lanjutnya, kopendium putusan Lembaga Peradilan yang terkait Masyarakat Adat. Jaringan dengan berbagai instansi, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, lembaga peradilan, dan lembaga swadaya masyakat (non govern-mental organization).
"Bidang Advokasi APHA akan membantu masyrakat adat sebagai pembicara keadilan. Sebagian besar kasus yang menganiaya masyarakat adat terkait dengan perampasan ruang hidup," terangnya.
Masyarakat adat sambung Yamin, sebagian besar berkultur agraris dengan memanfaatkan sumber daya alam yang diberikan Yang Maha Kuasa. Mereka tinggal di pedalaman dan lereng gunung, bahkan harmoni dengan alam sesuai dengan filsafat hidupnya. Namun, ruang hidup mereka tersingkir karena dijadikan kawasan hutan lindung, sehingga tidak ada aktivitas warga yang hidup memanfaatkan hasil bumi dalam memelihara eksistensi alam senesta.
"Setelah ditetapkan kawasan hutan lindung, beberapa saat kemudian terjadi alih fungsi hutan produksi dan diberikan kepada investor. Masyarakat adat tehempas dari ruang hidupnya dengan modus manipulasi alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi," paparnya.
Modus itu sebenarnya merupakan perbuatan kriminal kerah putih yang biasanya melibatkan oknum birokrasi dan pemilik modal. Dalam konteks ini Bidang Advokasi akan melakukan bantuan hukum, baik litigasi dan nonlitigasi, kepada masyarakat adat. Karena yurisdiksinya sangat luas.
Bidang Advokasi akan menjalin kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum yang ada di Perguruan Tinggi Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap ruang hidup masyarakat adat, birokrasi aparatur di daerah, serta para penegak hukum.
Salah satu kasus yang sempat muncul di beberapa media adalah aktivis lingkungan yang dialami ketua komunitas adat Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Effendi Buhing yang ditangkap oleh aparat keamanan dari rumahnya karena diduga melakukan pencurian, pemaksaan dan perampasan.
"Namun, kami menghormati proses penegakan hukum apabila merupakan kriminalitas murni, tidak dalam rangka menyingkirkan masyarakat adat Laman Kinipan," ungkapnya.
Apabila dilakukan dalam rangka modus menyingkirkan masyarakat adat demi kepentingan finansial sesaat (cry of the moment), tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan gratifikasi dan kejahatan penghianatan terhadap negara.
Beberapa hari usai Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Nusa Tenggara Timur saat peringatan Kemerdekaan Indonesia, kekerasan terjadi. Di tempat asal pakaian adat itu masyarakat mengalami kekerasan. Mereka diusir dan rumahnya dirusak oleh oknum aparat keamanan.
Berdasarkan data Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA), Kantor Staf Kepresidenan (KSP) terdapat 666 kasus laporan konflik agraria sepanjang 2016 hingga 2019 yang melibatkan 176.132 kepala keluarga dan 1.457.084 hektare lahan.
Berdasarkan keterangan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), hanya dalam beberapa bulan, dari Maret sampai awal Juli 2020, telah terjadi 28 konflik agraria di Indonesia yang diikuti dengan tindakan "kriminalisasi".
Dikutip Yamin, Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, dalam Orasi Ilniah Gelar Doktor Honisi Causa yang berjudul “Lampau dan Datang” menyatakan, bahwa dalam tanah ulayat atau sejenisnya di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak boleh diterbitkan sertifikat, karena berpotensi menjadi konflik agrarian.
Dalam konteks itu terjadi pergeseran dari paham hak kebersamaan menjadi hak individual. Apabila salah satu anggota masyarakat adat yang mengalami kesulitan finansial mengagunkan sertifikat tanahnya dan gagal bayar, makan tanahnya bergerser menjadi milik yang memberikan agunan.
"Padahal kasus ini pernah dikritik C. van Vollenhoven dalam Indonesier en Zijn Grond. Dalam konteks ini kebijakan pemberian sertifikat tidak boleh diterbitkan di tanah kolektif masyarakat adat," pungkasnya. (*)